Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI GUNUNG SITOLI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2022/PN Gst Yobedi Halawa Alias Ama Tati Kepala Kepolisian RI, Cq. Kapolda Sumut, Cq. Kepala Kepolisian Resor Nias Selatan Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 15 Mar. 2022
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2022/PN Gst
Tanggal Surat Selasa, 15 Mar. 2022
Nomor Surat 0000
Pemohon
NoNama
1Yobedi Halawa Alias Ama Tati
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian RI, Cq. Kapolda Sumut, Cq. Kepala Kepolisian Resor Nias Selatan
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Yang bertanda tanagan dibawah ini :

BUDIELI DAWOLO, SH., FILEMO DAELI, SH., MH., HIBURAN ZAMASI, SH., SOKHISO NDRAHA, SH. Kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Advokat BUDI DAWOLO SH & REKAN  yang beralamat di Jl. Dr. Cipto M. Kusumo Nomor 28, Onozitoli Sifaorozasi Kecamatan Gunungsitoli Kota Gunungsitoli

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas Nama Yobedi Halawa Alias Ama Tati, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 07 Maret 2022, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri

selanjutnya disebut sebagai,-------------------------------------------------------PEMOHON

 

 

--------------------------------------------- MELAWAN -------------------------------------------

Kepala Kepolisian RI, Cq. Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Cq. Kepala Kepolisian Resor Nias Selatan selanjutnya disebut sebagai, ---------------TERMOHON

        Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai Tersangka, Penangkapan, dan Penahanan  dalam dugaan Tindak Pidana Penganiayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepolisian Resor Nias.

Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Tindakan upaya paksa, seperti Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan,  Penahanan, dan Penuntutan yang dilakukan dengan melanggar Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, menangkap, dan Menahan.
Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

 

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

 

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang;

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, sah tidaknya penyitaan, dan sah tidaknya penangkapan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut terobosan hukum (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

 

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015 Dan lain sebagainya

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

 

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

 

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA.

 

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

 

Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

 

Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),

 

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

 

Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dipanggil sebagai saksi, tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai Terlapor atau calon tersangka. Berdasar pada Surat pertama kali yang diberikan kepada Pemohon oleh Termohon, yakni melalui Surat Perintah Penangkapan oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Kap/31/III/ RES.1.6/2022/Reskrim tertanggal 04 Maret 2022.

Jelas bahwa disini termohon tidak pernah membuktikan Pemohon dipanggil dan diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung melakukan tindakan penangkapan sebagai Tersangka oleh Termohon pada tanggal 04 Maret 2022, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon.

 

Untuk itu berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya.

 

Hal ini Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Kepala Kepolisian Resor Nias Selatan.

 

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

 

TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

 

Bahwa sebagaimana diakui oleh Pemohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon setelah dilakukan penangkapan oleh Termohon berdasarkan surat penangkapan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor: SP. Kap/31/III/RES/1/6/2022/Reskrim tertanggal 04 Maret 2022. Bahwa apabila mengacu kepada surat penangkapan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon, tidak pernah ada surat panggilan sebagai saksi kepada pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.

 

Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

 

Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian tindak pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

 

Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

 

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

 

PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN

 

Bahwa Pemohon lebih dulu di tangkap baru ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 04 Maret 2022, pada tanggal 04 Maret 2022 sebagaimana Surat Penangkapan Nomor: SP. Kap/31/III/RES 1.6/2022/Reskrim tertanggal 04 Maret 2022.

 

Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana lebih dulu dilakukan penangkapan terhadap Pemohon, akan tetapi masih dilakukan penyelidikan dan penyidikan untuk dimintai keterangan, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian PENYIDIKAN itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.

 

Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menyatakan lengkap alat bukti akan tetapi masih melakukan penyelidikan dan penyidikan/ pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka penangkapan yang dilakukan penyidik kepada Pemohon merupakan penangkapan yang tidak sah dikarenakan Penyidik terburu-buru dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan, pengaman dan pengayom. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.

 

PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

 

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip legality merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain. Menurut Sjachran Basah abus de droit (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
dibuat sesuai prosedur; dan
substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:

 

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah.
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.

 

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

PENANGKAPAN SEKALIGUS BERSAMAAN PEMOHON DI TETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

 

Bahwa sebagaimana pada uraian pada nomor 3 diatas, Pemohon lebih dulu di tangkap baru ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 04 Maret 2022, pada tanggal 04 Maret 2022 sebagaimana Surat Penangkapan Nomor: SP. Kap/31/III/RES. 1.6/ 2022/Reskrim tertanggal 04 Maret 2022

 

Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana lebih dulu dilakukan penangkapan terhadap Pemohon, akan tetapi masih dilakukan penyelidikan dan penyidikan untuk dimintai keterangan kepada pemohon, dan sebelumnya belum ada dipanggil pemohon sebagai saksi, belum ada pemohon diperiksa sebagai saksi maupun sebagi tersangka tetapi duluan ditangkap barulah pemohon di tetapkan sebagai tersangka dan barulah dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian PENYIDIKAN itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.

 

Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menyatakan lengkap alat bukti akan tetapi masih melakukan penyelidikan dan penyidikan/ pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka penangkapan yang dilakukan penyidik kepada Pemohon merupakan penangkapan yang tidak sah dikarenakan Penyidik terburu-buru dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan, pengaman dan pengayom. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.

 

PENAHANAN YANG DILAKUKAN TERMOHON KEPADA PEMOHON   MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM SERTA TERKESAN MENGKAKANGI KUHAP

 

Tindakan termohon dalam melakukan penahanan kepada pemohon terlalu dini dan sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai keadilan. Yag mana lebih dulu dilakukan penahanan terhadap Pemohon, akan tetapi masih dilakukan penyelidikan dan penyidikan untuk dimintai keterangan, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian PENYIDIKAN.

 

Perlu kita ketahui bahwa Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:

Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Bahwa sebagaimana kita ketahui dan berdasarkan pasal yang disangkakan kepada Pemohon yaitu Pasal 351 ayat (1) dengan ancaman hukuman pidana dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya 4.500,-

Bahwa jelas dan terang tindakan termohon dalam melakukan penahan terhadap pemohon tidak sesuai dengan prosedur dan terkesan mengkangkangi undang-undang, sehingga penahanan terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli  yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan menerima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Mengabulkan permohonan pemohon
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana Penganiayaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Kepala Kepolisian Resor Nias Selatan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tindakan termohon dalam melakukan Penangkapan sesuai surat perintah Penangkapan Nomor: SP. Kap/31/III/RES. 1.6/ 2022/Reskrim tertanggal 04 Maret 2022 terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.
Menyatakan tindakan Penahanan yang dilakukan termohon kepada pemohon bertentangan dengan hukum sehingga dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan batal demi hukum
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan termohon untuk membebaskan pemohon dari tahanan tanpa syarat;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON  sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya